Oleh Dr. H. Awaludin Hamzah, M. Ag.
(Kepala MAN Kota Cimahi)
Apabila mendengar kata guru yang terbayang dibenak kita adalah sosok pekerjaan yang identik dengan sikap kesederhanaan, patuh, tidak banyak mengeluh, menerima apa adanya dan pada sebagian masyarakat masih ada anggapan berpenghasilan rendah. Kesan seperti itu pada masa sekarang nyaris tidak ada lagi, apalagi atas kebijakan pemerintah yang berupaya meningkatkan harkat dan martabat guru dengan adanya uji kompetensi berupa sertifikasi yang mengarah kepada sikap profesional guru, dengan memberikan penghasilan tambahan berupa tunjangan profesi yang jumlah cukup fantastis yaitu satu kali gaji pokok.
Sehingga dengan adanya sertifikasi, profesi guru tidak lagi dipandang sebelah mata namun agak terangkat satus sosial dan tingkat kesejahteraannya. Pertanyaannya adalah; Apakah dengan terangkatnya tingkat kesejahteraan yang memadai akan serta merta guru tersebut meningktakan profesionalismenya dalam bertugas? Jawabannya, belum tentu. Tidak sedikit guru yang sudah disertifikasi dengan menyandang predikat sebagai guru profesional, namun dari segi mengajat tak ada ubahnya sepertri belum tersertifikasi, masih begitu-begitu saja. Tidak beranjak dari kebiasaan sebelumnya yang kurang profesional. Terlepas dari peroalan tersebut di atas, bagaimana dengan kondisi guru di madrasah? Nah inilah yang pada kesempatan terbatas ini penulis ingin berbagai persoalan sekaligus memberikan sedikit solusi dari sekian persoalan yang dialami oleh sebagian guru madrasah, baik pada jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MA) ataupun Madrasah Aliyah (MA).
Persolan pertama guru-guru di madrasah sudah bukan cerita baru lagi, ini merupakan ciri khas guru madrasah adalah “salahj kamar” (mismatch), atau tidak selaras antara kualifikasi akademik yang dimiliki dengan kesempatan mengampu mata pelajaran yang diajarakan. Persolan berikutnya adalah tidak sedikit guru-guru madrasah yang sama sekali bukan dari latar belakang pendidikan keguruan/pendidkan. Dan persoalan ketiga adalah guru-guru madrasah tidak sedikit yang masih berstatus mahasiswa baik dari fakultas keguruan (calon guru) atau fakultas lain yang sama sekali tidak berlatarbelakang keguruan.
Persoalan lain yang dialami guru-guru madrasah adalah terdapat persoalan psikologis bagi nguru-guru madrasah dalam kancah pergaualan dengan guru-guru umum, adakalanya meresa minder ketika harus bergabung, dalam rangka meningkatkan kompetensinya manakala dsisandinkgan dengan guru-guru umum. Persoalan-persoalan diatas sesungguhnya dapat diatasi, oleh pemerintah selaku penentu arah dan kebijakan pendidikan di madarsah yang dalam hal ini Kementerian Agama. Kebijakan tersebut diupayakan oleh pemerintah dengan berbagai cara, diantaranya dengan memberikan beasiswa tugas belajar bagi guru-guru yang mismatch untuk disesuaikan dengan kemampuan dan keinginan mata pelajaran yang diampu. Begitu pula bagi guru-guru yang sama sekali tidak memiliki basic keguruan diberikan beasiswa untuk mengambil kualifikasi pendidikan guru. Tentunya kebaikan pemerintah ini harus ditangap oleh guru yang bersangkutan dan dimanfaatkan sebaiknya.
Disamping upaya-upaya tersebut bagi lembaga atau yayasan yang menaunginya hendaknya memiliki keninginan untuk menyetarakan kualifikasi guru yang salah mengampu (mengajar) yaitu dengan selalu memberikan motivasi untuk lebih banyak mempelajari dan mendalami mata pelajaran yang dijadikan pegangan dalam mengajar. Berikan kesempatan untuk mengiktui kegiatan yang bersifat akademik seperti workshop, seminar, pelatihan mata pelajaran dan sejenisnya . Upaya berikutnya secara internal di yayasan yaitu dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
Hal ini dapat dilakukan dengan mengundang narasumber ahli dari luar lembaga atau sharing ilmu pengetahuan dengan guru-guru madrasah lain. Sekecil apapun upaya yang dilakukan baik oleh guru atau yayasan yang menaunginya akan memberikan implikasi positif bagi guru yang bersangkutan dan pasti berdamnpak pula terhadap kualitas pengajaran yang pada akhirnya mampu memberikan layanan terbaik bagi siswa selaku pengguna layanan pendidikan dan hal ini akan menimbulkan kepuasaan bagi orang tua atau masyarakat, sehingga dikemudian hari nama madrasah akan terangkat serta memiliki nilai jual dan kredibilitas yang memadai.
Inilah yang penting yaitu menanamkan nilai-nilai kepercayaan (trust) pengelolaan pendidikan kepada masyarakat. Ketika tingkat kepercayaan semakin tinggi , maka secara otomatis peminat dari masayarakat akan bertambah dalam menyekolakan anaknya ke madrasah. Pihak madrasah harus berani membuka diri melalui kerjasama dengan pihak lain. Bukankah kita mengetahuai bagaimana dahulu kala pada tahun1970-an, banyak guru-guru dari malaysia yang belajar ke Indonesia, dan banyak guru-guru dari Indonesia yang mengajar di Malaysia, hal ini dilakukan semata-mata Malaysia ingin menyejajajarkan kualitas pendidikannya dengan negara-negara maju di Asia Tenggara dan Indonesia dipilih karena g dipandang lebih maju.
Namun apa yang terjadi sekarang setelah selama 20 tahun Malaysia berguru kepada Indonesia sekarang terbalik. Banyak mahasiswa kita yang sengaja belajar ke Malaysia karena mengngaggap Malaysia lebih maju dari kita, ironis bukan? Upaya lainnya agar guru-guru madrasah mampu meningkatkan kualitasnya adalah diberikan stimulus atau perangsang dari pihak yayasan dalam setiap kegiatan akademik. Dan setiap keberhasilan upaya mendidikan dan membina siswa layak diberikan reward yang memadai. Semoga dengan solusi tersebut di atas guru-guru madrasah tidak lagi dianggap sebelah mata oleh pihak lain namun sama dan sederajat dengan guru-guru sekolah umum lainnya. Wallahu alam bil Shawab
(Penulis Kepala MAN Kota Cimahi, Jawa Barat)